Nurjoko (ist)

Oleh : Nurjoko*)

UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sebagai regulasi tunggal yang mengatur Pemilu Serentak 2019, menyisakan banyak polemik. Salah satunya soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Banyak pihak yang menjadi stack holder demokrasi negeri ini mengeluhkan beratnya syarat presidential threshold yang mengharuskan 20% suara di parlemen atau 25% suara sah nasional yang didapat dari partai politik atau gabungan partai politik sebagai syarat mutlak untuk bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Sebelumnya saya akan bicara sejarah dari PT 20% itu sendiri. Pertama kali dilaksanakan pada Pemilu 2004 dengan dasar konstitusional UU 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pasal 5 ayat 4 dengan syarat ambang batas 15% suara di parlemen atau 20% suara sah nasional.

Berlanjut di Pemilu 2009 dengan dasar konstitusional UU 42 tahun 2008 tentang Pemilu pasal 9 dengan syarat ambang batas 20% suara di parlemen atau 25% suara sah nasional.

Pun dengan Pemilu 2014, masih menggunakan UU yang sama dengan 2009 dengan syarat ambang batas yang sama pula, yakni 20% suara di parlemen atau 25% suara sah nasional yang didapat dari partai politik atau gabungan partai politik.

Sebelum berlanjut ke Pemilu 2019, konstalasi parlemen bersama pemerintah saat itu menghendaki revisi UU Pemilu yang kemudian menjadi dasar lahirnya UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu Serentak.

Di sinilah bandul penanda matinya demokrasi. Perusakan demokrasi terjadi secara telanjang. Prinsip dan nilai demokrasi diberangus oleh kehendak ingin berkuasa yang cenderung “dipaksakan”. Komposisi perlemen saat itu, dari 539 anggota yang hadir, ada 322 anggota yang setuju penerapan PT 20%. Mereka adalah Fraksi PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem, PPP, dan PKB.

Sementara empat fraksi lain yakni, Fraksi Demokrat, Gerindra, PKS dan PAN memilih walkout sebagai bentuk penolakan PT 20%.

Seharusnya partai-partai yang mendukung PT 20% itu tak dipilih lagi pada Pemilu 2019 yang lalu. Begitulah ironi masyarakat kita yang “mudah lupa”. Namun sejarah mencatat bahwa mereka adalah “perusak” Demokrasi.

Mengapa kita harus menolak PT 20% ? Tak semua politisi di DPR itu cerdas dan encer otaknya. Mereka berdalih, PT 20% adalah wujud penyelamatan demokrasi karena ada pembatasan calon sehingga yang akan muncul adalah calon-calon yang kompeten dan berkualitas. Justru dengan PT 20% adalah wujud perusakan demokrasi dengan membatasi hak konstitusional warga negara untuk dipilih dan memilih.

Pun dengan Jokowi. Presiden kita saat ini.Beliau mengatakan di banyak kesempatan bahwa dulu saat Pemilu 2004, 2009, dan 2014 tak pernah dipersoalkan masalah PT20%, mengapa kini di persoalkan? Tanya Jokowi.

Sungguh sangat mudah menjawab pertanyaan Jokowi. Sejak Pemilu 2004 hingga 2019 memang sama sama menggunakan syarat ambang batas. Bedanya, untuk Pemilu 2004, 2009 dan 2014 tidak dilakukan secara serentak. Syarat presidential threshold tak jadi soal karena mekanisme pemilu dilakukan secara berjenjang. Tahapan pileg dan tahapan pilpres dilaksanakan di waktu yang berbeda. Kalkulasi perolehan kursi dijadikan dasar dan syarat utama terpenuhinya presidential threshold.

Tidak bisa kemudian diterapkan sama dengan Pemilu 2019. Di mana tahapan pileg dan pilpres dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan. Apa rasionalisasinya menjadikan hasil pileg pada Pemilu 2014 yang lalu sebagai syarat mutlak presidential threshold ? Tiket bioskop yang sudah disobek mau digunakan lagi? Pak Jokowi harusnya paham ini jika kelasnya adalah negarawan. Bukan pemburu kekuasaan yang merusak prinsip dan nilai-nilai demokrasi.

Atas dasar ini, kita berharap wajah baru Parlemen 2019 mampu menjawab persoalan PT 20% sebagai bentuk keberpihakan terhadap keberlangsungan demokrasi menuju ke arah yang lebih baik. Apa yang terjadi di masa depan bergantung dari apa yang kita lakukan hari ini. Wajah demokrasi masa depan bergantung dari apa yang menjadi dasar keberpihakan kita hari ini.

Venceremos Democratia!

*) Koordinator Nasional Jaring Muda Demokrat