Oleh: Muhammad Husni Thamrin*)
Kondisi pembangunan dan ekonomi Indonesia memasuki semester ke-2 tahun 2017 tidak memberikan isyarat yang cukup menjanjikan. Hal yang sama sebenarnya terjadi di tahun 2016. Pembangunan yang terseok-seok, utang yang bertambah hanya tertolong dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen. Jauh dari janji Jokowi saat kampanye 2014, pertumbuhan ekonomi 2 digit.
Namun pemerintah tampaknya enggan untuk “belajar”. Langgam kerja yang nyaris sama dilakukan pula di semester pertama tahun 2017.
Inflasi semakin tinggi, utang luar negeri pemerintah yang semakin menumpuk, pajak yang tinggi, subsidi pada kelompok miskin yang semakin berkurang, kemiskinan dan kesenjangan, adalah berbagai persoalan yang harus dijawab oleh Pemerintah Jokowi.
Rezim Jokowi dapat dikatakan gagal menjawab berbagai kendala pembangunan ekonomi yang ada. Penciptaan lapangan kerja yang dijanjikan semasa kampanye berjalan di tempat. Janji akan adanya dana pembangunan ekonomi yang tidak tergantung pada utang hanya menjadi penghias pidato kampanye semata. Kerja…kerja..kerja…uangnya ada, hanya kalimat manis Jokowi saat berdebat dengan Prabowo di masa kampanye pilpres saja.
Rezim Jokowi terseok-seok dalam tiga tahun pemerintahannya. Tak hanya utang yang menumpuk, berbagai kebijakan yang diluncurkan pun banyak yang meleset. Ekonomi yang menurut Presiden Jokowi pada akhir 2015 akan meroket tak terbukti. Tax amnesty yang diharap menjadi penambal defisit anggaran jauh dari target yang diharapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Angka kemiskinan tampak turun di tahun 2016, sebesar 10,9 persen dari 11 persen pada tahun 2014. Tetapi hitungan tahun 2016 adalah penghasilan sekitar USD 25 per bulan (per kapita) yang masuk sebagai kategori miskin. Sementara Bank Dunia memakai perhitungan USD 1, 25 per hari, sehingga angka tersebut diperkirakan lebih tinggi.
Persoalan yang terpenting bukanlah statistik penduduk miskin itu sendiri, melainkan daya beli masyarakat yang semakin melemah dengan kanaikan harga kebutuhan pokok. Sementara tak ada kebijakan pro rakyat yang siginifikan untuk meningkatkan daya beli mereka. Subsidi untuk beberapa kebutuhan pokok masyarakat, terutama rakyat miskin, pun perlahan hilang. Harga BBM semakin meroket, begitu pula listrik. Harga-harga kebutuhan pokok tetap tinggi meski telah dijanjikan oleh Presiden Jokowi akan turun.
Keberhasilan pembangunan di era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebenarnya meninggalkan modal yang cukup kuat untuk diteruskan oleh Pemerintahan Jokowi. Salah satunya adalah pertumbuhan rata-rata 6 persen setiap tahun serta kategori Negara G-20, yang berarti sebagai salah satu negara di dunia dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Namun sayangnya itu tidak dilakukan Pemerintahan Joko Widodo.
Konsep pembangunan di masa SBY tak hanya mengenai pertumbuhan ekonomi (pro growth) tetapi juga bagaimana pembangunan tersebut dapat menciptakan lapangan kerja (pro jobs) serta memperkecil kesenjangan yang diakibatkan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan tidak menyingkirkan mereka yang miskin (pro poor), melalui beberapa bentuk subsidi yang membantu daya beli mereka. Pemerintahan SBY juga menambahkan persoalan lingkungan dan sustainable development dalam konsep pembangunan (pro environmental), serta sustainability development, pembangunan yang berkelanjutan dan terintegrasi dengan nempertahankan lingkungan serta penggunaan sumber daya alam secara baik.
Pemerintahan SBY telah menghasilkan panduan jangka panjang pembangunan ekonomi dalam sebuah konsep yang bernama MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Konsep MP3EI mengintegrasikan secara komprehensif potensi daerah dan regional dan pembangunan infrastruktur, yang akan memudahkan pertimbangan investasi bagi para investor, yang dipadukan dengan potensi dan sumberdaya energi kluster tersebut. Peluang investasi di daerah-daerah luar Jawa diperbesar.
Namun konsep tersebut diabaikan oleh Jokowi yang memformulasikan konsep pembangunan sendiri yang ia beri nama pembangunan Nawacita dengan dasar Revolusi Mental. Alih alih berjalan, butir-butir yang ada dalam Nawacita hingga kini masih sekadar jargon.
Kini Rezim Jokowi harus berkejaran dengan defisit anggaran yang hampir mencapai 3 persen serta utang luar negeri yang akan segera jatuh tempo. Beban utang yang besar serta berbagai program ambisius pencitraan yang dicanangkan pemerintah pun membuat ia terseok-seok dalam menyusun APBN. Beberapa proyek pembangunan infrastruktur melambat, bahkan mungkin terancam mangkrak. Contohkan saja proyek kereta cepat Jakarta-Bandung mulai tidak terdengar kabar kemajuannya, atau proyek Light Rapid Transport (LRT), ruas Cibubur-Cawang yang melambat dan meminta agar PT. KAI (PT. Kereta Api Indonesia) masuk membantu pendanaan ataupun Dana Haji yang mulai dilirik.
Para pengikut Jokowi yang segelintir takut mengakui warisan keberhasilan pemerintahan sebelumnya, masa 10 tahun Presiden SBY. Mereka lupa akan keberhasilan Indonesia masuk dalam 20 negara yang dianggap memiliki daya pembangunan terbaik di dunia, Negara-negara G-20, adalah legacy yang diwariskan oleh SBY.
Di dunia international Indonesia hampir tak memiliki taji politik. Pemusnahan kapal-kapal nelayan asing yang memasuki perairan Indonesia banyak diprotes oleh negara-negara ASEAN, tetangga Indonesia seperti Vietnam, Malaysia atau Thailand. Kedaulatan diartikan dengan mengabaikan hubungan bertetangga dan tata krama dalam hubungan internasional.
Bandingkan dengan masa Pemerintahan SBY saat membantu persoalan Myanmar misalnya. SBY yang menjadi presiden saat itu adalah pemimpin ASEAN yang mampu menarik junta militer paling kuat untuk mengikuti mekanisme demokrasi dan menyelenggarakan pemilu. Indonesia yang pernah disegani di dunia international dan ASEAN kini hanya menjadi pelengkap.
Dalam pidatonya di acara Dialog Kebangsaan yang bertemu “Mengelola Keberagaman, Meneguhkan Keindonesiaan”, dalam rangka ulang tahun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ke-50, SBY menegaskan tentang pentingnya faktor kepemimpinan dan sikap optimisme dalam menatap pembangunan Indonesia kedepan. Pembangunan ekonomi harus pula mempertimbangkan keadilan dan memperkecil jarak ketimpangan ekonomi masyarakat.
Meski persoalan ketimpangan adalah persoalan umum di setiap negara, terutama di negara-negara yang sedang membangun, namun tetap harus ada jalan keluar. Ketimpangan dalam pendapatan dan kekayaan dapat bersumber dari kebijakan pemerintah yang salah, tetapi dapat juga sebagai kosekuensi dari pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan pemerintah perlu diubahnya yang tidak hanya beorientasi pertumbuhan tetapi juga mengupayakan pula memperkecil ketimpangan dan nempertahankan daya beli masyarakat, terutama masyarakat kecil. Selama 10 tahun pemerintahannya SBY tidak hanya berhasil mempertahankan pertumbuhan rata rata 6 persen tetapi juga berupaya mempertahankan daya beli masyarakat melalui penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) yang disalurkan kepada rakyat miskin.
Daya beli masyarakat tetap terjaga, ekonomi kecil dan UKM mampu tetap menggeliat sebagai soko guru ekonomi kecil di masyarakat menengah kecil.
Subsidi dalam batas tertentu tetap diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat. Apa yang dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi dengan rencana mengenakan pajak bagi masyarakat yang berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta justru akan menambah beban bagi masyarakat kecil.
Optimisme saja tak cukup. Kepemimpinan dan perencanaan pembangunan yang lebih sistematis dan terencana baik harus mengiringi. Kepastian hukum bagi investor maupun masyarakat umum akan menumbuhkan confident. Faktor-faktor inilah yang masih belum bisa diharapkan dalam tiga tahun Pemerintahan Jokowi sekarang.
*)Sekretaris Divisi Hubungan Luar Negeri DPP Partai Demokrat dan Komunikator Politik Partai Demokrat
Jakarta: Di hari-hari menuju pagelaran pilkada, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terus…
Jakarta: Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono(AHY), menegaskan pentingnya memperkuat konektivitas dan…
Magelang: 27 Oktober 2024 – Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono…
Jakarta: Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), melakukan kunjungan kerja pertamanya…
Selamat kepada para Menteri dan Wakil Menteri Kabinet Merah Putih dari Partai Demokrat yang telah…
Surabaya-Jawa Timur: Dengan predikat Cum Laude, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) berhasil menyelesaikan studi doktoralnya, melalui…